Putusan MK Tak Digubris, 13 Serikat Pekerja PTUN-kan Presiden dan DPR

Details

 Metroonlinenews.com, Jakarta – Setelah mengajukan permohonan uji formil Perppu Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi pada 25 Januari 2023, perjuangan Gabungan Serikat Pekerja terus berlanjut.

Melalui kuasa hukumnya, Denny Indrayana dari Centre for Government, Constitution, and Society (INTEGRITY) Law Firm, sebanyak 13 Serikat Pekerja mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di Cakung, Jakarta Timur.

Menurut Denny, gugatan ini diajukan kepada Presiden Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia atas tindakannya yang tidak melaksanakan amar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang Pengujian Formil Undang-undang Cipta Kerja (Putusan MK Cipta Kerja) berupa perintah untuk melakukan perbaikan atas Undang-undang Cipta Kerja.

Dalam kacamata hukum administrasi negara, tindakan Presiden dan DPR RI tersebut dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum oleh Pemerintah. Sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, jenis perkara tersebut menjadi kewenangan PTUN sepenuhnya dari yang sebelumnya adalah kewenangan Pengadilan Negeri. Oleh sebab itu, Gabungan Serikat Pekerja beramai-ramai gugat Presiden dan DPR ke PTUN.

Denny menambahkan, para Penggugat menilai tindakan Presiden dan DPR yang tidak melaksanakan amar putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, bukan saja bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, namun juga bertentangan dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).

Dijelaskannya, memang sejak awal Undang-undang Cipta Kerja sudah bermasalah, mulai dari proses pembentukannya yang relatif cepat dan tidak partisipatif, serta kesalahan ketik yang berdampak terhadap kesalahan substansi. Fenomena tersebut secara tidak langsung membuktikan bahwa terhadap Undang-undang Cipta Kerja perlu dilakukan perbaikan.

Di samping itu, jika melihat dan membaca ulang poin utama mengapa Mahkamah Konstitusi memerintahkan kepada Presiden dan DPR untuk melakukan perbaikan atas Undang-undang Cipta Kerja, dikarenakan Undang-Undang tersebut dinilai sarat akan permasalahan, terutama soal proses pembentukannya yang tidak melibatkan partisipasi publik di dalamnya. Uniknya lagi, perintah dari putusan MK tersebut justru dijawab baru-baru ini oleh pemerintah dengan menerbitkan sebuah produk hukum baru, yakni Perppu Cipta Kerja.

Denny Indrayana menegaskan, sikap Presiden dan DPR yang demikian, jelas merupakan bentuk pelecehan terhadap Mahkamah Konstitusi. Pelecehan dimaksud karena berani menentang amar putusan Mahkamah Konstitusi.
Perintah dari putusan Mahkamah Konstitusi Cipta Kerja adalah memperbaiki Undang-Undang Cipta Kerja, sudah pasti output yang dihasilkan dari produk tersebut adalah Undang-Undang perbaikan. Namun, nyatanya yang dihadirkan oleh pemerintah adalah produk hukum berupa Perppu Cipta Kerja.

Tindakan yang dilakukan Pemerintah tersebut adalah untuk menghindari ruang dialog yang rumit. Dengan kata lain, Perppu yang dilahirkan oleh pemerintah (Presiden) lebih mencoba untuk menghindari proses pembahasan ditingkat stakeholder, khususnya terhadap beberapa pihak yang secara langsung merupakan pihak terdampak.

Pernyataan serupa muncul dari ketua umum Gabungan Serikat Pekerja, Moh. Jumhur Hidayat, Jumhur merasa aneh tapi nyata, Presiden yang merupakan kepala negara dan kepala pemerintahan seharusnya paham akan situasi seperti ini, begitu juga dengan DPR. Tetapi memang sejak awal (Presiden dan DPR) tidak ingin mengindahkan putusan Mahkamah Konstitusi, maka dengan seenaknya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut selalu mereka abaikan. (Zul)